Sabtu, 27 Februari 2010
Jumat, 26 Februari 2010
Rabu, 03 Februari 2010
Buat Pengendara Motor kalau mau aman
Buat pengendara motor, jangan coba-coba jalan di trotoar kalau enggak mau kehilangan Rp 500.000. Masih banyak lagi pasal-pasal yang terangkum dalam UU NO. 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang siap menjerat pengendara karena kebiasaan buruk atau lalai saat berkendara. Inilah beberapa peraturan tsb.
1. Motor harus lengkap nomor polisi. Hilang satu kena pasal 280 dan tidak dipasangi tanda nomor polisi seperti dimaksud Pasal 68 ayat 1, dipidana kurungan 2 bulan atau denda Rp 500.000
2. Punya SIM. Berkendara tanpa SIM sesuai Pasal 281 dikenakan Pasal 77 ayat 1 dipidana kurungan 4 bulan atau denda Rp. 1 juta.
3. Jangan sms atau telpon saat berkendara, mabok dll. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana diatur pasal 106 ayat 1 dipidana kurungan 3 bulan atau denda Rp. 750.000. Demikian bunyi pasal 283.
4. Jalan di trotoar. Pasal 104 ayat 2 akan menjerat dengan hukuman kurungan 2 bulan atau denda Rp. 500.000 karena dalam pasal tsb jelas disebutkan, anda tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda.
5. Standar motor tak lengkap. Perhatikan kaca spion, lampu utama, rem, penunjuk arah, pengukur kecepatan, knalpot, dan alur ban. Tidak memenuhi syarat teknis dan laik jalan maka kena pasal 106 ayat 3 juncto pasal 48 ayat 2 dan 3 akan dipidana 1 bulan atau denda Rp. 250.000.
6. Marka jalan. Simak pasal 287. Yg melanggar aturan perintah atau larangan yg dinyatakan dg rambu lalulintas spt dimaksud pasal 106 ayat 4 huruf a atau marka jalan (b) dipidana dg pidana kurungan 2 bulan atau denda Rp. 500.000.
7. Helm harus logo SNI. Tidak pakai helm standar kena pasal 106 ayat 8 yaitu dipidana 1 bulan atau denda Rp. 250.000.
8. Boncengan tiga atau lebih. Kena pasal 106 ayat 9 dipidana 1 bulan atau denda Rp. 250.000.
9. Balap liar. Yg suka kebut2an, apalagi balap liar kena pasal 115 huruf b dipidana 1 tahun atau denda Rp. 3 juta.
10. Menerobos palang pintu kereta api. Bagi yg menerobos lintasan ka, sementara palang pintu sudah ditutup dan sinyal sudah bunyi, pasal 114 siap menjerat dg kurungan 3 bulan atau denda Rp. 750.000.
1. Motor harus lengkap nomor polisi. Hilang satu kena pasal 280 dan tidak dipasangi tanda nomor polisi seperti dimaksud Pasal 68 ayat 1, dipidana kurungan 2 bulan atau denda Rp 500.000
2. Punya SIM. Berkendara tanpa SIM sesuai Pasal 281 dikenakan Pasal 77 ayat 1 dipidana kurungan 4 bulan atau denda Rp. 1 juta.
3. Jangan sms atau telpon saat berkendara, mabok dll. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana diatur pasal 106 ayat 1 dipidana kurungan 3 bulan atau denda Rp. 750.000. Demikian bunyi pasal 283.
4. Jalan di trotoar. Pasal 104 ayat 2 akan menjerat dengan hukuman kurungan 2 bulan atau denda Rp. 500.000 karena dalam pasal tsb jelas disebutkan, anda tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda.
5. Standar motor tak lengkap. Perhatikan kaca spion, lampu utama, rem, penunjuk arah, pengukur kecepatan, knalpot, dan alur ban. Tidak memenuhi syarat teknis dan laik jalan maka kena pasal 106 ayat 3 juncto pasal 48 ayat 2 dan 3 akan dipidana 1 bulan atau denda Rp. 250.000.
6. Marka jalan. Simak pasal 287. Yg melanggar aturan perintah atau larangan yg dinyatakan dg rambu lalulintas spt dimaksud pasal 106 ayat 4 huruf a atau marka jalan (b) dipidana dg pidana kurungan 2 bulan atau denda Rp. 500.000.
7. Helm harus logo SNI. Tidak pakai helm standar kena pasal 106 ayat 8 yaitu dipidana 1 bulan atau denda Rp. 250.000.
8. Boncengan tiga atau lebih. Kena pasal 106 ayat 9 dipidana 1 bulan atau denda Rp. 250.000.
9. Balap liar. Yg suka kebut2an, apalagi balap liar kena pasal 115 huruf b dipidana 1 tahun atau denda Rp. 3 juta.
10. Menerobos palang pintu kereta api. Bagi yg menerobos lintasan ka, sementara palang pintu sudah ditutup dan sinyal sudah bunyi, pasal 114 siap menjerat dg kurungan 3 bulan atau denda Rp. 750.000.
Minggu, 17 Januari 2010
SUAMI BERISIKO KENA STROKE SAAT ISTRI SAKIT
Suami Berisiko Kena Stroke Saat Istri Sakit
Nurul Ulfah - detikHealth
img
Ilustrasi (Foto: ehealthcounselor.com)
Florida, Suami lebih berisiko kena stres daripada istri ketika harus mengurus pasangannya yang sakit atau tidak mampu. Ini karena suami tidak siap dan tidak terbiasa merawat seseorang.
William E Halley, profesor psikologi dari University of South Florida, Tampa menyurvei 767 orang yang sedang merawat pasangannya yang sakit atau dalam kondisi tidak mampu melakukan apa-apa.
Pasangan yang paling stres berisiko mengalami stroke paling tinggi. Partisipan ditanya berapa lama dalam seminggu mereka merasa depresi, sedih atau menangisi keadaan.
Faktor lain seperti usia, tekanan darah tinggi, kolesterol, kebiasaan merokok atau penyakit diabetes telah diperhitungkan dalam studi ini.
Hasilnya menunjukkan, suami lebih cepat stres dan lebih tinggi 23 persen kena stres dibanding istri. Stres tersebut berisiko 26,9 persen menjadi stroke selama 10 tahun.
"Perempuan lebih siap dan terbiasa merawat seseorang dibanding laki-laki, jadi lebih sedikit yang kena stres," kata Haley seperti dilansir Healthday, Sabtu (15/1/2010).
Risiko stres yang dialami suami lama kelamaan bisa berkembang menjadi stroke, umumnya 2 tahun setelah mengalami stres.
Jika sudah begitu, risiko penyakit lain yang lebih fatal pun bisa muncul karena menurut survei yang dilakukan peneliti dari University of California, Los Angeles, penderita stroke umumnya berhenti mengonsumsi obat-obatan sebelum benar-benar sembuh.
Hal ini didukung oleh peneliti Swedia yang mengatakan, hanya tiga perempat penderita stroke yang tetap minum obat untuk mencegah stroke baru.
Sebanyak 26 persen berhenti mengonsumsi obat darah tinggi, 44 persen berhenti mengonsumsi statin (obat kolesterol) dan 36 persen berhenti dari pengobatan jantung.
"Banyak pasien yang merasa tidak perlu obat lagi karena merasa sudah agak baikan atau sembuh. Tapi dokter juga harus disalahkan karena tidak memaksa atau memberi edukasi pasien tentang pentingnya minum obat rutin dan terus menerus hingga benar-benar sembuh," kata Dr Bruce Ovbiagele, direktur program pencegahan stroke UCLA.(fah/ir)
Nurul Ulfah - detikHealth
img
Ilustrasi (Foto: ehealthcounselor.com)
Florida, Suami lebih berisiko kena stres daripada istri ketika harus mengurus pasangannya yang sakit atau tidak mampu. Ini karena suami tidak siap dan tidak terbiasa merawat seseorang.
William E Halley, profesor psikologi dari University of South Florida, Tampa menyurvei 767 orang yang sedang merawat pasangannya yang sakit atau dalam kondisi tidak mampu melakukan apa-apa.
Pasangan yang paling stres berisiko mengalami stroke paling tinggi. Partisipan ditanya berapa lama dalam seminggu mereka merasa depresi, sedih atau menangisi keadaan.
Faktor lain seperti usia, tekanan darah tinggi, kolesterol, kebiasaan merokok atau penyakit diabetes telah diperhitungkan dalam studi ini.
Hasilnya menunjukkan, suami lebih cepat stres dan lebih tinggi 23 persen kena stres dibanding istri. Stres tersebut berisiko 26,9 persen menjadi stroke selama 10 tahun.
"Perempuan lebih siap dan terbiasa merawat seseorang dibanding laki-laki, jadi lebih sedikit yang kena stres," kata Haley seperti dilansir Healthday, Sabtu (15/1/2010).
Risiko stres yang dialami suami lama kelamaan bisa berkembang menjadi stroke, umumnya 2 tahun setelah mengalami stres.
Jika sudah begitu, risiko penyakit lain yang lebih fatal pun bisa muncul karena menurut survei yang dilakukan peneliti dari University of California, Los Angeles, penderita stroke umumnya berhenti mengonsumsi obat-obatan sebelum benar-benar sembuh.
Hal ini didukung oleh peneliti Swedia yang mengatakan, hanya tiga perempat penderita stroke yang tetap minum obat untuk mencegah stroke baru.
Sebanyak 26 persen berhenti mengonsumsi obat darah tinggi, 44 persen berhenti mengonsumsi statin (obat kolesterol) dan 36 persen berhenti dari pengobatan jantung.
"Banyak pasien yang merasa tidak perlu obat lagi karena merasa sudah agak baikan atau sembuh. Tapi dokter juga harus disalahkan karena tidak memaksa atau memberi edukasi pasien tentang pentingnya minum obat rutin dan terus menerus hingga benar-benar sembuh," kata Dr Bruce Ovbiagele, direktur program pencegahan stroke UCLA.(fah/ir)
Langganan:
Postingan (Atom)